Thursday, August 23, 2012

Amir Mitro (based ST-12 Dunia Pasti Berputar)


Malam ini aku tidak bisa tidur. Sejak sejam lalu yang kulakukan hanya berputar bolak-balik di atas kasur dan menaik turunkan selimut. Aku memutuskan beranjak dari kasur untuk pergi ke kamar kakek. Kakek belum tidur juga rupanya. Beliau tersenyum halus saat melihat aku datang lalu menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. Sepertinya kakek tahu aku sedang tidak bisa tidur, seperti biasa beliau menawarkan buku ‘Si Kancil’ yang sudah usang. Namun aku menolak, bosan rasanya. Kakek terlihat berpikir, beliau menghela napas panjang dan mulai bercerita tentang Amir dan Mitro.


Siang ini sangat terik, matahari bersinar dengan gagahnya membuat banyak orang enggan keluar rumah. Tapi tidak dengan bocah itu. Mitro namanya. Dari tadi ia terus menggenjot sepeda tua warisan ayahnya meskipun kaos abu-abu tipis itu tak mampu melindunginya dari sengatan panas matahari. Koran koran koran! Begitu teriaknya sambil melempar koran ke dalam rumah. Empat jam sudah ia menggenjot sepeda. Butuh waktu dua jam untuk menuju ke kota dan dua jam untuk berkeliling mengantar koran-koran. Ya, koran dalam tas Mitro itu menjadi satu-satunya bekal hidupnya. Ia tidak bersekolah. Bukan tak ingin, tapi tak mampu. Ibunya sudah meninggal sedangkan ayahnya dipenjara. Ia harus bekerja keras sendiri demi bertahan hidup. Bahkan, untuk mengenakan baju putih merah Mitro sudah tak berani bermimpi. Tapi tetap, menyerah bukan bagian dari hidupnya.
Amir panggilannya. Ia adalah anak tunggal Pak Suyitno, salah satu orang terpandang yang memiliki perusahaan game online. Rumahnya sangat teduh dan besar, berada di kompleks perumahan elit pula. Ibunya tidak bekerja. Hidup Amir dimata orang memang sempurna. Sekolah elit, rumah elit, dan tidak pernah kekurangan. Namun, di balik hidupnya yang serba elit itu Amir merasa sendirian. Saat terbit matahari sampai tenggelamnya matahari Amir jarang sekali bertemu ayah ibunya. Pak Suyitno selalu sibuk bekerja sedangkan Ibu Suyitno hobi sekali arisan atau pergi ke salon. Memang Amir punya banyak teman, tapi semua terlalu sombong. Harta yang menjadi ukuran mereka untuk berteman. Terlihat bahagia meskipun tidak.
Pagi ini sangat sejuk, wangi embun tercium hingga membangunkan Mitro yang sedang tidur di ranjang tanpa kasur. Seusai sholat subuh dan membersihkan tubuhnya, Mitro meraih tas siap untuk bekerja. Dua jam mengayuh sepeda ia tiba di toko ‘sular agency’ tempat Mitro mengambil jatah koran. Kring kring, sepeda Mitro memberi tanda koran sudah datang, tak jarang pemilik rumah yang sudah  hapal suara sepeda Mitro. Baru setengah jalan, tiba-tiba awan mulai menghitam, suara petir juga mulai terdengar. Mitro berdoa dalam hati supaya hujan tidak turun saat itu karena masih banyak koran yang belum diantar. Ia mengayuh sepedanya kuat-kuat. Tak lama kemudian, Mitro merasakan ada tetesan air di rambutnya, hujan sudah datang. Ia menoleh ke kanan dan kiri berharap ada tempat berteduh, namun yang ada hanya rumah-rumah bertingkat. Mitro mengarahkan sepedanya ke rumah terdekat, meringkuk di bawah pagar, melindungi koran dalam tas yang sudah tidak bisa ditutup itu. Ia bingung harus bagaimana kalau koran itu basah. Sementara hujan terus turun mengguyur Mitro. Lebat dan semakin lebat.
Amir duduk memandangi jendela di pinggir kamar. Hujan turun lebat. Disaat seperti ini ia merasa sendirian, tidak ada orang yang menemani saat suara petir besar menggelegar. Mata Amir tertuju pada pagar rumahnya, ia melihat seseorang sedang duduk meringkuk. Amir beranjak dari tempatnya lalu berlari keluar rumah mendekati orang itu. Saat membuka pagar, ternyata orang itu sebaya dengannya. Anak itu menoleh, di dadanya ada koran yang dipegannya erat-erat. Amir tersenyum menawarkan untuk masuk kerumahnya. Anak itu hanya menggeleng. Sejenak berpikir, Amir tersenyum lagi lalu duduk di sampingnya. Tangan Amir terulur, mereka saling berkenalan. Mitro dan Amir. Mereka berdua saling tersenyum di bawah guyuran hujan.
Sejak saat itu, Amir dan Mitro sering bertemu. Mereka sudah sangat mengenal satu sama lain, mungkin karena masing-masing mempunyai banyak kesamaan. Seperti saat ini, Amir sangat bersemangat menemui Mitro di pohon besar agak jauh dari kompleksnya. Mitro sudah bertengger duluan, tangannya melambai ke arah Amir dengan bibir tersenyum. Amir membuka buku cerita yang ia bawa dari rumah. Mitro bertepuk tangan. Dengan perlahan Amir bercerita ditemani angin yang berhembus halus. . Sebelum mengenal Mitro, Amir tidak pernah merasakan naik pohon seperti itu. Di hari libur biasanya hanya bermain komputer sampai malam hari. Tidak hanya bercerita, Amir juga mengajarkan Mitro menulis di rumahnya. Sekarang rumah Amir sudah tidak sepi lagi, tawa mereka selalu mengisi.
Hari ini Mitro menunggu Amir di depan gerbang sekolah. Satu jam akhirnya bel sekolah berbunyi, Amir muncul diantara anak-anak berseragam merah-putih. Mereka berjalan menyusuri rel kereta api sambil bernyanyi dan tertawa. Amir dan Mitro duduk di dekat sungai yang sudah mengering, kembali Amir membawa buku cerita baru berjudul ‘Si Kancil’. Belum sempat Amir bercerita, dengan semangat Mitro mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya. Amir takjub saat membuka lipatan kertas itu. Disana tertulis ‘Amir Mitro’ yang ditulis dengan sangat rapi. Mereka berdua saling berrangkulan memandangi kertas itu. Namun tiba-tiba ada suara yang memanggil nama Amir dengan sangat lantang. Mendengar suara itu jantung Amir seperti berhenti berdetak seketika. Dugaannya betul, dari jauh ayah Amir berjalan ke arahnya dan langsung meraih tangan Amir. Sebelum pergi ayah Amir sempat berkata pada Mitro, ia hanyalah anak miskin yang tak pantas berteman dengan Amir. Mitro hanya menunduk memandangi buku ‘Si Kancil’. Mitro kembali mengayuh sepeda mengantar koran-korannya. Sesekali ia memandangi rumah Amir, namun pagar rumah itu selalu terkunci. Banyak hal yang sudah dipelajari dari sahabatnya itu. Hidup tak sekedar hidup, tapi harus berani bermimpi.
Waktu terus berjalan tanpa kenal lelah. Sekarang Mitro sudah berumur 25 tahun. Uang hasil menjual koran bertahun-tahun di dalam kaleng susu itu berhasil membangun perpustakaan. Kancil namanya. Mitro berharap perpustakaan itu dapat membantu orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya.
Hujan deras mengguyur, seorang pria berpakaian putih rapi berlari ke arah sebuah rumah terdekat untuk berteduh. Ia membawa map hijau. Hari sudah gelap, namun ia belum mendapatkan pekerjaan. Mitro yang melihat pria itu berteduh di depan perpustakaannya lalu mendekat. Dari samping ia melihat sosok yang dikenalnya, yang selama ini ia cari, yang telah membantunya. Mitro meraih bahu pria itu. Diapun menoleh. Dugaannya benar, pria itu Amir. Amir terdiam bingung saat Mitro meninju pelan bahunya, sampai ia sadar kalau yang di depannya itu Mitro. Mereka berpelukan. Berbagai perasaan mengganjal yang terus berkecamuk bertahun-tahun hilang sudah.
Mitro tak menduga semuanya jadi begini. Amir menceritakan semua yang terjadi semenjak mereka berpisah. Ayah Amir, Pak Suyitno mengalami kebangkrutan di perusahaan game online-nya. Rumah Amir yang sangat mewah disita oleh renternir, harta kekayannya yang ludes juga membuat Bu Suyitno sakit parah. Semuanya berubah total. Melihat wajah Amir yang tiba-tiba murung, Mitro mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Itu buku Si Kancil milik Amir. Melihatnya dengan spontan Amir mengeluarkan secarik kertas. Kertas bertuliskan ‘Amir Mitro’. Seketika itu juga semua yang pernah mereka lalui teringat kembali. Akhirnya, hujan malam itu mereda digantikan cahaya bintang yang ikut bahagia melihat akhir cerita.
Cerita Amir dan Mitropun berakhir. Aku melihat wajah kakek. Matanya basah. Seketika aku menyadari sesuatu, Amir nama kakekku. Dan makam yang selalu beliau kunjungi ternyata adalah makam almarhum Mbah Mitro. Satu yang aku pelajari dari cerita kakek, dunia pasti berputar. Dunia pasti berputar, ada saatnya semua harus berubah. Kita harus siap menghadapi semua, mengikhlaskan segalanya, jalani semua yang ada di dunia. Satu yang diingat, Tuhan pasti berikan kita segala yang indah dengan segala anugrah untuk kita. Dunia pasti berputar.

0 comments:

tamiadwimartha.blogspot.com

tamiadwimartha.blogspot.com