Malam
ini aku tidak bisa tidur. Sejak sejam lalu yang kulakukan hanya berputar
bolak-balik di atas kasur dan menaik turunkan selimut. Aku memutuskan beranjak
dari kasur untuk pergi ke kamar kakek. Kakek belum tidur juga rupanya. Beliau
tersenyum halus saat melihat aku datang lalu menarik tanganku untuk duduk di
sampingnya. Sepertinya kakek tahu aku sedang tidak bisa tidur, seperti biasa beliau
menawarkan buku ‘Si Kancil’ yang sudah usang. Namun aku menolak, bosan rasanya.
Kakek terlihat berpikir, beliau menghela napas panjang dan mulai bercerita
tentang Amir dan Mitro.
Siang
ini sangat terik, matahari bersinar dengan gagahnya membuat banyak orang enggan
keluar rumah. Tapi tidak dengan bocah itu. Mitro namanya. Dari tadi ia terus
menggenjot sepeda tua warisan ayahnya meskipun kaos abu-abu tipis itu tak mampu
melindunginya dari sengatan panas matahari. Koran
koran koran! Begitu teriaknya sambil melempar koran ke dalam rumah. Empat
jam sudah ia menggenjot sepeda. Butuh waktu dua jam untuk menuju ke kota dan
dua jam untuk berkeliling mengantar koran-koran. Ya, koran dalam tas Mitro itu
menjadi satu-satunya bekal hidupnya. Ia tidak bersekolah. Bukan tak ingin, tapi
tak mampu. Ibunya sudah meninggal sedangkan ayahnya dipenjara. Ia harus bekerja
keras sendiri demi bertahan hidup. Bahkan, untuk mengenakan baju putih merah
Mitro sudah tak berani bermimpi. Tapi tetap, menyerah bukan bagian dari
hidupnya.
Amir
panggilannya. Ia adalah anak tunggal Pak Suyitno, salah satu orang terpandang
yang memiliki perusahaan game online. Rumahnya sangat teduh dan besar, berada
di kompleks perumahan elit pula. Ibunya tidak bekerja. Hidup Amir dimata orang
memang sempurna. Sekolah elit, rumah elit, dan tidak pernah kekurangan. Namun,
di balik hidupnya yang serba elit itu Amir merasa sendirian. Saat terbit
matahari sampai tenggelamnya matahari Amir jarang sekali bertemu ayah ibunya.
Pak Suyitno selalu sibuk bekerja sedangkan Ibu Suyitno hobi sekali arisan atau
pergi ke salon. Memang Amir punya banyak teman, tapi semua terlalu sombong.
Harta yang menjadi ukuran mereka untuk berteman. Terlihat bahagia meskipun
tidak.
Pagi
ini sangat sejuk, wangi embun tercium hingga membangunkan Mitro yang sedang
tidur di ranjang tanpa kasur. Seusai sholat subuh dan membersihkan tubuhnya,
Mitro meraih tas siap untuk bekerja. Dua jam mengayuh sepeda ia tiba di toko
‘sular agency’ tempat Mitro mengambil jatah koran. Kring kring, sepeda Mitro memberi tanda koran sudah datang, tak
jarang pemilik rumah yang sudah hapal
suara sepeda Mitro. Baru setengah jalan, tiba-tiba awan mulai menghitam, suara
petir juga mulai terdengar. Mitro berdoa dalam hati supaya hujan tidak turun
saat itu karena masih banyak koran yang belum diantar. Ia mengayuh sepedanya
kuat-kuat. Tak lama kemudian, Mitro merasakan ada tetesan air di rambutnya,
hujan sudah datang. Ia menoleh ke kanan dan kiri berharap ada tempat berteduh,
namun yang ada hanya rumah-rumah bertingkat. Mitro mengarahkan sepedanya ke
rumah terdekat, meringkuk di bawah pagar, melindungi koran dalam tas yang sudah
tidak bisa ditutup itu. Ia bingung harus bagaimana kalau koran itu basah. Sementara
hujan terus turun mengguyur Mitro. Lebat dan semakin lebat.
Amir
duduk memandangi jendela di pinggir kamar. Hujan turun lebat. Disaat seperti
ini ia merasa sendirian, tidak ada orang yang menemani saat suara petir besar
menggelegar. Mata Amir tertuju pada pagar rumahnya, ia melihat seseorang sedang
duduk meringkuk. Amir beranjak dari tempatnya lalu berlari keluar rumah
mendekati orang itu. Saat membuka pagar, ternyata orang itu sebaya dengannya. Anak
itu menoleh, di dadanya ada koran yang dipegannya erat-erat. Amir tersenyum
menawarkan untuk masuk kerumahnya. Anak itu hanya menggeleng. Sejenak berpikir,
Amir tersenyum lagi lalu duduk di sampingnya. Tangan Amir terulur, mereka
saling berkenalan. Mitro dan Amir. Mereka berdua saling tersenyum di bawah
guyuran hujan.
Sejak
saat itu, Amir dan Mitro sering bertemu. Mereka sudah sangat mengenal satu sama
lain, mungkin karena masing-masing mempunyai banyak kesamaan. Seperti saat ini,
Amir sangat bersemangat menemui Mitro di pohon besar agak jauh dari
kompleksnya. Mitro sudah bertengger duluan, tangannya melambai ke arah Amir
dengan bibir tersenyum. Amir membuka buku cerita yang ia bawa dari rumah. Mitro
bertepuk tangan. Dengan perlahan Amir bercerita ditemani angin yang berhembus
halus. . Sebelum mengenal Mitro, Amir tidak pernah merasakan naik pohon seperti
itu. Di hari libur biasanya hanya bermain komputer sampai malam hari. Tidak
hanya bercerita, Amir juga mengajarkan Mitro menulis di rumahnya. Sekarang
rumah Amir sudah tidak sepi lagi, tawa mereka selalu mengisi.
Hari
ini Mitro menunggu Amir di depan gerbang sekolah. Satu jam akhirnya bel sekolah
berbunyi, Amir muncul diantara anak-anak berseragam merah-putih. Mereka
berjalan menyusuri rel kereta api sambil bernyanyi dan tertawa. Amir dan Mitro
duduk di dekat sungai yang sudah mengering, kembali Amir membawa buku cerita
baru berjudul ‘Si Kancil’. Belum sempat Amir bercerita, dengan semangat Mitro
mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya. Amir takjub saat membuka lipatan
kertas itu. Disana tertulis ‘Amir Mitro’ yang ditulis dengan sangat rapi.
Mereka berdua saling berrangkulan memandangi kertas itu. Namun tiba-tiba ada
suara yang memanggil nama Amir dengan sangat lantang. Mendengar suara itu
jantung Amir seperti berhenti berdetak seketika. Dugaannya betul, dari jauh
ayah Amir berjalan ke arahnya dan langsung meraih tangan Amir. Sebelum pergi
ayah Amir sempat berkata pada Mitro, ia hanyalah anak miskin yang tak pantas
berteman dengan Amir. Mitro hanya menunduk memandangi buku ‘Si Kancil’. Mitro
kembali mengayuh sepeda mengantar koran-korannya. Sesekali ia memandangi rumah
Amir, namun pagar rumah itu selalu terkunci. Banyak hal yang sudah dipelajari dari
sahabatnya itu. Hidup tak sekedar hidup, tapi harus berani bermimpi.
Waktu
terus berjalan tanpa kenal lelah. Sekarang Mitro sudah berumur 25 tahun. Uang
hasil menjual koran bertahun-tahun di dalam kaleng susu itu berhasil membangun
perpustakaan. Kancil namanya. Mitro berharap perpustakaan itu dapat membantu
orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya.
Hujan
deras mengguyur, seorang pria berpakaian putih rapi berlari ke arah sebuah
rumah terdekat untuk berteduh. Ia membawa map hijau. Hari sudah gelap, namun ia
belum mendapatkan pekerjaan. Mitro yang melihat pria itu berteduh di depan
perpustakaannya lalu mendekat. Dari samping ia melihat sosok yang dikenalnya,
yang selama ini ia cari, yang telah membantunya. Mitro meraih bahu pria itu. Diapun
menoleh. Dugaannya benar, pria itu Amir. Amir terdiam bingung saat Mitro
meninju pelan bahunya, sampai ia sadar kalau yang di depannya itu Mitro. Mereka
berpelukan. Berbagai perasaan mengganjal yang terus berkecamuk bertahun-tahun
hilang sudah.
Mitro
tak menduga semuanya jadi begini. Amir menceritakan semua yang terjadi semenjak
mereka berpisah. Ayah Amir, Pak Suyitno mengalami kebangkrutan di perusahaan
game online-nya. Rumah Amir yang sangat mewah disita oleh renternir, harta
kekayannya yang ludes juga membuat Bu Suyitno sakit parah. Semuanya berubah
total. Melihat wajah Amir yang tiba-tiba murung, Mitro mengeluarkan sesuatu
dari tasnya. Itu buku Si Kancil milik Amir. Melihatnya dengan spontan Amir
mengeluarkan secarik kertas. Kertas bertuliskan ‘Amir Mitro’. Seketika itu juga
semua yang pernah mereka lalui teringat kembali. Akhirnya, hujan malam itu
mereda digantikan cahaya bintang yang ikut bahagia melihat akhir cerita.
Cerita
Amir dan Mitropun berakhir. Aku melihat wajah kakek. Matanya basah. Seketika
aku menyadari sesuatu, Amir nama kakekku. Dan makam yang selalu beliau kunjungi
ternyata adalah makam almarhum Mbah
Mitro. Satu yang aku pelajari dari cerita kakek, dunia pasti berputar. Dunia
pasti berputar, ada saatnya semua harus berubah. Kita harus siap menghadapi
semua, mengikhlaskan segalanya, jalani semua yang ada di dunia. Satu yang
diingat, Tuhan pasti berikan kita segala yang indah dengan segala anugrah untuk
kita. Dunia pasti berputar.
0 comments:
Post a Comment