I.
SINOPSIS
a. Judul buku : Ranah 3
Warna
b. Pengarang : Ahmad Fuadi
c. Penerbit :
Gramedia
Pustaka Utama
d.
Tebal buku : 473 halaman
e.
Tahun terbit : Tahun 2011
Alif dan Randai adalah kawan semasa
kecil. Mereka sangatlah dekat satu sama lain. Namun, di lain sisi mereka juga
saling bersaing. Menjadi mahasiswa ITB adalah impian Alif sejak dulu. Kini ia
telah menyelesaikan pendidikan agamanya di Pondok Madani. Namun, ia tidak
memiliki ijazah SMA. Banyak teman di kampungnya yang meragukan
kemampuannya untuk bisa tembus UMPTN, termasuk Randai. Namun Alif tidak
berkecil hati, ia tetap pada mimpinya.
Akhirnya, ia halau
banyak remehan, ia tutup telinga dengan semua perkataan yang melukai
hatinya untuk tetap meraih mimpi. Ia bulatkan tekad dengan belajar keras
setiap hari, dengan bantuan teman-teman yang bersimpati dengannya. Akhirnya, ia
berhasil lulus ujian persamaan SMA meskipun dengan nilai yang pas-pasan. Namun
ia bersyukur dan berjanji akan belajar lebih keras lagi dalam menempuh UMPTN
dengan mantra sakti yang ia peroleh selama belajar di Pondok Madani; man
jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Dalam persiapan
menuju UMPTN, ia belajar segenap daya dan upaya. Tak lupa ia memohon doa
dan restu orang tuanya agar dapat lulus UMPTN
Akhirnya, ujian itu pun tiba. Alif
telah memaksimalkan usahanya untuk UMPTN ini.. Beberapa hari setelah itu,
ia mengajak ayahnya untuk melihat hasil UMPTN yang dimuat di koran Haluan. Pagi-pagi benar ia
menunggu bus bersama ayahnya. Akhirnya setelah bus datang, ia
cepat-cepat membuka halaman yang memuat pengumuman UMPTN. Dalam harap dan doa
yang tiada putus, ia mencari nama dan nomor ujiannya. Ia bersyukur sekali
ketika mengetahui dirinya lulus UMPTN dan berhasil masuk menjadi
mahasiswa HI UNPAD. Ia bahkan mengabari teman-temannya para shahibul
Menara yang dekat dengannya selama di Pondok Madani dulu. Ia berbagi kabar
bahagia sekaligus berbagi semangat
hidup.
Alif telah melewati
semester satu. Ia senang ketika mendapatkan hasil belajar yang baik dan
tulisannya di muat di majalah dinding kampus. Ketika itu, Ayah dan Amaknya yang
ada di kampung ingin mengunjunginya ke Bandung. Ia merasa senang sekali. Telah
ia uasahakan untuk tempat tinggal orang tuanya di Bandung dengan merayu Randai
untuk bersedia meminjamkan kasur. Namun saat itu, ada telegram dari Amak yang
mengabarkan bahwa Ayah sedang sakit. Ia menyuruh Alif untuk segera
pulang. Dengan seketika, ia bergegas menuju Sulawesi dengan menaiki bus.
Sesampainya di rumah, Alif segera menemui ayahnya yang ternyata sedang
terbaring lemas di bangsal ekonomi rumah sakit. Ayahnya yang melihatnya senang,
karena anak bujangnya itu pulang. Namun Alif tak sampai hati melihat ayahnya
itu. Ayahnya kini semakin kurus, cincin di jarinya pun longgar. Ayah merasa
bangga kepada Alif. Pun suatu ketika, ayah memintanya untuk berfoto bersama
dalam ruangan rumah sakit itu, sekeluarga berlima. Hari demi hari
Alif telaten dan bersedia mengurus ayahnya selama di rumah sakit. Hingga
kesehatan ayahnya benar-benar pulih dan akhirnya dipersilakan pulang ke rumah
oleh dokter.
Alif senang mendengar pernyataan
dokter yang memperbolehkan ayahnya kembali pulang ke rumah. Kesehatan ayahnya
memang berangsur-angsur pulih. Ia pun ingin segera kembali ke Bandung. Namun,
hari itu pula ia harus menyaksikan ayahnya yang batuk-batuk, kedinginan,
dan sungguh di luar dugaan, hari itu sang ayah harus menghadap sang Khalik,
meninggalkan Alif, Amak, beserta adik-adiknya untuk selamanya. Betapa sedih
hati Alif, ia masih tak percaya jika sang ayah benar-benar telah tiada. Namun,
ia harus menerima kenyataan dan ketentuan dari sang Khalik, tiada yang sempurna
di dunia ini. Akhirnya ia harus berlapang dada dan benar-benar berjanji untuk
melakukan apa yang diperintahkan ayah: tetap lanjut kuliah dan menjaga Amak dan
adik-adiknya.
Selama beberapa hari berkabung itu,
Alif harus benar-benar ikhlas merelakan kepergian sang ayah. Ia harus kembali
ke Bandung. Dengan meminta izin kepada Amak yang disayanginya, ia harus segera
kembali ke Bandung dan tetap melanjutkan kuliahnya, meskipun ia tak tahu
harus bagaimana hidup di rantau dalam posisi sebagai anak yatim.
Setibanya di Bandung, ia disambut
hangat oleh teman-temannya, termasuk Randai. Mereka mengucapkan rasa
belasungkawa atas meninggalnya ayah Alif. Alif kini harus melewati hari-hari
normal dalam berkuliah. Namun ia sadar, amaknya di kampung sana bekerja keras
untuk dapat membiayai Alif. Ia tak sampai hati dan merasa terlalu
memberatkan Amaknya. Ia tak tega. Dan sejak saat itu, ia mulai merambah
usaha-usaha. Ia bahkan menjual produk-produk yang digemari ibu-ibu. Ia berjualan
songket, kain tenun, mukena, bahkan aksesoris lainnya. Ia menekan segenap
ego dan gengsi. Sejak saat itu ia berusaha bagaimana caranya untuk bisa
membiayai diri sendiri dan juga Amaknya. Nilai-nilai kuliah Alif sempat turun,
bahkan beberapa ada nilai yang C dan D. Ia sangatlah fokus kepada produk yang
dijualnya. Hingga akhirnya ia sampai jatuh sakit. Ia terkena tifus selama tiga
minggu. Ia semakin tak berdaya ketika ia dirampok beberapa orang tak
dikenalnya.
Saat dalam keadaan yang hampir putus
asa, Alif teringat pada mantra sakti yang ia dapatkan selama belajar di Pondok
Madani dulu, man shabara zhafira: siapa yang bersabar akan beruntung.
Sejak saat itu, ia menyerahkan segenap hidupnya pada Allah, dengan kesabaran
dan keikhlasan hatinya. Mengingat mantra sakti itu, Alif berusaha bangkit.
Ia kembali menemui bang Togar untuk belajar menulis seperti dulu. Walaupun
ditempa habis-habisan Alif harus bersabar ketika tulisannya dicoret, dan
akhirnya beberapa tulisannya pun di muat di surat kabar. Ia senang sekaligus
bangga karena saat itu ia mulai dikenal orang. Alif terus memulai langkah hidup
baru. Ia kini semakin focus pada kegiatan tulis-menulisnya. Ia kini bahkan
mampu mengirimi uang kepada Amak di kampung.
Suatu ketika, Alif berselisih
paham dengan sahabat karibnya, Randai. Gara-gara meminjam komputer itu,
hubungan persahabatan mereka nampak renggang. Akhirnya, sejak saat itu Alif
memutuskan untuk mencari kos baru dan ia pun berjanji dalam hati untuk tidak
meminjam barang kepada orang lain.
Alif semakin bersemangat menjalani
hidupnya. Impiannya sudah banyak yang terkabul. Kini ia punya mimpi yang besar:
mendapat beasiswa ke luar negeri. Dalam perjalanan
kuliahnya, Alif mencoba mengikuti tes pertukaran pelajar ke Amerika,
bermodalkan niat dan tekad, Alif pun berhasil lolos dengan berbagai
pertimbangan yang diberikan oleh panitia. Kanada! Ya itu tempat yang akan Alif
tuju, impiannya untuk menginjakkan kaki di Amerika akhirnya tercapai. Raisa
yang merupakan perempuan yang Alif sukai lolos seleksi pertukaran pelajar. Alif
menambah banyak teman, dari rombongan pertukaran pelajar tersebut.
Tiba waktunya Alif beserta segenap
duta Indonesia pergi ke Kanada untuk melaksanakan misi pertukaran mahasiswa. Ia
bertemu dengan teman-teman yang unik, temasuk Rusdi sang kesatria berpantun.
Ketika sesampainya di Kanada, ia dibagi oleh sang kakak yang memandu. Alif
ditempatkan di Quebec, bersama Franc Pepin. Mereka pun sangat beruntung
memiliki keluarga asuh yang baik. Frandinand dan Mado.
Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif pun semakin berambisi untuk bisa
mempersembahkan medali emas dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia bisa
berprestasi. Ia ingin mengalahkan Rob, pemuda berkebangsaan Kanada yang arogan
itu. Akhirnya, dengan kerja keras dan memantapkan segenap daya dan upayanya
berdasarkan man jadda wa jadda ia
berhasil bersama Francois Pepin merebut medali emas. Ia pun berhasil menarik
perhatian Raisa. Semakin hari, nampaknya ia semakin jatuh hati kepada gadis
itu. Pernah ia datang ke kantor Raisa, namun lagi-lagi ia tak berhasil
menyampaikan maksudnya itu.
Bersama duta Indonesia yang lain di Kanada, Alif berhasil membawa nama
Indonesia. Mereka sukses mempertunjukkan kebolehan mereka memainkan
tarian adat dan memasak makanan asli Indonesia yang memikat. Selain
itu, berdesir dalam darah mereka nama Indonesia, negeri tercinta yang kini
mampu sejajar dengan bangsa yang lain. Semakin menggelegak semangat mereka
memperjuangkan tanah sendiri di
rantau.
Setahun berlalu, Alif dan rombongan
pertukaran pelajar kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Alif lulus,
tapi di hari kelulusan itu, saat dia ingin menyerahkan surat tersebut ke Raisa,
hal yang tidak disangka terjadi, Raisa telah bertunangan dengan Randai, kawan
karibnya! Dengan perasaan yang campur aduk dia berusaha mencoba untuk
menerimanya. Setelah 10 tahun, Alif menepati janjinya ke Franco Peppin untuk
mengunjungi dia kembali di Kanada dengan seorang istrinya. Di puncak bukit kota
itu dia menatap terbitnya matahari dengan istrinya, dia bernostalgia dengan
perjuangannya yang keras dia bisa menjadi besar seperti ini, berkat 2 mantra
dari Pondok Madani “man jadda wa jadda” dan
“man shabara zhafira.”. Alif
berhasil melalui ranah 3 warna dalam hidunya. Bandung, Amman, dan Saint
Raymond.
II.
UNSUR
INTRINSIK
1. Tema Umum :
Cita-cita
2. Tema Khusus : Perjuangan dalam meraih cita-cita
3. Tokoh dan penokohan :
-
Alif :
Pekerja
keras à “Pintu
kamar pun aku kunci dan sudah berhari-hari aku mengurung diri, hanya ditemani
bukut-bukit buku. Bahkan kalau adiku diam-diam mengintip dari balik pintu, aku
halau mereka...” (Hal. 296)
Tidak mudah
putus asa, ikhlas à “Akhirnya
aku memilih untuk ikhlas saja, walau diperlakukan dengan keras. Hari ini aku
sibuk sekali karena harus memperbaiki naskah, mengetik ulang, mengantar dan
dicoret Bang Togar. Sampai berulang-ulang.”
Selalu
bersyukur à “Aku
mendapatkan teman yang baik dan pengalaman yang sangat aku impikan sejak dulu.
Sudah seharusnya aku selalu bersyukur..” (hal.425)
Sabar dalam
menghadapi banyak cobaan à “Surat ini
sesungguuhnya mewakili sebuah pelabuhan keberuntungan yang bahagia setelah
berkayuh melalui laut penuh badai dan gelombang ganas hanya bermodalkan baju
sabar. Man shabara zhafira.” (hal.
348)
Bertawakal à Aku mencoba
menghibur diriku. Toh aku telah melakukan usaha diatas rata-rata. Telah pula
aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan pada
Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya. (hal. 28)
Patuh kepada
orangtua à “Nak, sudah
wa’ang
patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut
ilmu sesuai keinginanmu...” kata Amak. (hal.41)
-
Randai :
Merendahkan
orang lain à “Hmm,
kuliah di mana setelah pesantren? Emangnya wa’ang
bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada
ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”.(hal.4)
Setia kawan,
baik hati, mau menolong à “Lif, kita
kan kawan, tinggal saja dulu di sini sampai ketemu kos yang pas.”
“Atau begini
saja. Bagaimana kalau gabung saja dengan aku di sini, kita bisa patungan bayar
berdua kamar ini.” (hal.62)
Pemarah à “Mana
mungkin wa’ang bisa bantu. Ini kan
pelajaran Teknik, pasti nggak ngerti!” suaranya meninggi “Tadi diapakan ini?
Bertahun-tahun komputer ini tidak pernah rusak!” Tangannya sekarang membuka kap
CPU dengan kasar, mencabut beberapa kabel sekali renggut dengan keras.” (hal
168)
-
Raisa :
Ramah, penuh
senyum, adil à “Dalam
pandanganku, Raisa dengan adil membagi perhatia, senyum, dan tawa yang sama
kepada cerita aku dan Randai”
Percaya diri à “Acara
ditutup dengan Raisa tampil di depan. Seragam jas biru tua semakin menambah
aura percaya dirinya yang besar.” (hal. 228)
-
Amak :
Baik hati,
bijaksana, penyayang à “Nak, sudah
wa’ang
patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut
ilmu sesuai keinginanmu. Niatkanlah untuk ibadah, insya Allah selalu
dimudahkanNya. Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa untuk wa’ang,” kata Amak. (hal.41)
-
Ayah :
Menepati
janjinya à “Alif, ini
semua formulir yang harus diisi. Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan
lagi. Sekarang tugas wa’ang untuk
belajar keras. (hal.6)
Penuh
perhatian à “Ayah dan
Amak akan doakan dengan sepenuh hati,” kata Ayah menatapku. Tangannya mengusap
kepalaku sekilas. (hal.25)
Keras kepala à “Sebetulnya,
Pak Mantri Pian sudah menganjurkan Ayah untuk banyak beristirahat, tapi dia
tetap juga keras kepala untuk batanggang menonton
Piala Eropa bersamaku sampai subuh” (hal.31)
Bijaksana à “Nak,
ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung jangan lupa membawa nama baik dan kelakuan. Elok-elok di negeri
orang. Jangan sampai berbuat salah.” (hal.41)
-
Kiai Rais :
Teladan,
bijaksana à “...Cobalah
bayangkan. Kalian yang dikaruniai bakat hebat dan otak cerdas adalah bak golok
tajam yang berkilat-kilat. Kecerdasan kalian bisa menyelesaikan beberapa
masalah. Tapi kalau kalian tidak serius, tidak sepenuh tenaga dan niat, maka
kaliat tidak akan maksimal, misi tidak akan sampai, usaha tidak akan berhasil,
kayu tidak akan patah...”
-
Bang Togar :
Berbakat
menulis à “Dia
bercerita, Togar masih mahasiswa tapi telah menjadi penulis tetap di berbagai
media, bahkan menjadi kontributor reguler di kompas.”(hal. 65)
Keras, agak
sombong à “Tapi dia
sangat keras dan agak sombong. Banyak yang mau belajar menulis sama dia, tapi
sering ditolak atau orang itu gagal di jalan.” Kata Mitra berbisik (hal. 66)
-
Rusdi :
Percaya diri
à “...Tapi
kitalah, ya kita, yang sebetulnya berkualitas laki-laki terbaik. Kitalah
manusia unggul,”
“ Kita
seperti sedang menyamar. Sayang sekali mereka, para gadis, itu tidak tahu.
Rugilah mereka. It’s their loss, not
ours,” (hal.424)
Mudah
bergaul à “Tidak jauh
dariku, Rusdi juga sedang berkenalan dengan beberapa orang lain. Tidak butuh
waktu lama untuk membuat anak-anak Kanada ini mengrubung Rusdi.”
-
Francolin Pepin
Lucu, murah
senyum, baik hati à “Aku
kembali tertawa melihat mimiknya, mulut tersenyum lebar, alis terkembang, mata
terbelalak. Mungkin aku tidak dapat mitra bahasa Inggris, tapi setidaknya aku
mendapat seorang kawan yang baik dan lucu.” (hal. 356)
-
Mado :
Baik hati,
berhati lembut, penuh perhatian à “Mado, perempuan berambut pirang
yang lembut hati ini selalu telaten membakar roti isi omelet yang gurih buat sarapanku. Sering dia berlari-lari tiba-tiba
menyusulku yang sudah naik ke sadel sepeda, hanya untuk memasukkan lagi
sebungkus biskuit.” ( hal.428)
-
Ferdinand :
Banyak
berbuat daripada bicara, perhatian, baik hati à “Sedangkan Ferdinand banyak berbuat
daripada bicara. Aku pernah bilang harus mengirim artikel setiap minggu ke
koran di Bandung. Diam-diam dia menghubungi anak sulungnya, Jeaninne yang sudah
bekerja di Quebec City, menanyakan apakan punya komputer yang tidak dipakai.”
(hal.429)
-
Kak Marwan :
Bijaksana à “Tugas
kalian adalah sebagai duta muda bangsa di mata orang Kanada. Jadilah cerminan
orang Indonesia yang terbaik. Gunakan setiap kesempatan untuk menjadi yang
terbaik,” hal.264)
-
Wira :
Pemarah,
pemberani à “Di
kananku, Wira si kera ngalam yang
berparas putih ini telah menjelma seperti udang rebus. Merah padam. Matanya tak
lepas-lepas menantang telunjuk Jumbo yang menghardiknya.” (hal. 55)
-
Agam :
Mudah
bergaul, humoris, baik hati, usil à “Agam adalah perekat kami. Dia
selalu punya humor heboh untuk diceritakan. Agam suka mengikat sepatu orang
lain atau melempat bola kertas untuk mengusili teman yang mengantuk.” (hal.59)
-
Memet :
Cinta damai,
suka membantu à “Memet juga
berbadan subur, tapi kebalikan dari Agam. Dia pecinta damai dan selalu melarang
Agam berbuat usil. Kegiatan utama memet adalah sibuk membantu siapa aja. Kalau
kami kehausan, dia akan dengan senang hati mengangsurkan botol minum.” (hal.
60)
Latar tempat :
-
Danau maninjau à “Batu sebesar gajah ini menjorok ke
Danau Maninjau, dianungi sebatang pohon kelapa yang melengkung seperti busur.” (hal.
1)
-
Kamar Alif à Kamarku kini seperti toko barang
bekas (hal. 9)
-
Kampus à “Kampusku, jurusan Hubungan
Internasional, terletak di perbukitan Dago, menempel dengan Dago Tea Huiss.”
(hal. 64)
-
Depan kos Bang Togar à “Dengan terengah-engah aku sampai
juga di depan kos Bang Togar.” (hal. 73)
-
Bandung à “Hampir setahun aku di Bandung.”
(hal. 83)
-
Rumah kos Randai à “Akhirnya aku sampai di rumah kos
Randai, sebuah rumah yang terjebak diantara rumah-rumah penduduk di salah satu
ujung gang.” (hal.44)
-
Maninjau à “Dengan duit pinjaman dari Randai,
malam itu juga aku pulang ke Maninjau.” (hal. 86)
-
Cibubur à”Begitu menginjakkan si Hitam di
gerbang kamp persiapan Cibubur.” (hal. 218)
-
Kota Amman à “Begitu satu bus besar kami
membelah Kota Amman, Semua mata kami kini terbuka lebar.” (hal. 238)
-
Montreal à “Setelah beberapa hari di Montreal,
aku mulai berani untuk berjalan-jalan sendiri.” (hal. 261)
-
Kanada à”Ternyata berburu di Kanada
merupakan sebuah olahraga dan budaya.”
Latar waktu :
-
Setahun Lalu à “Setahun lalu, beliaulah yang
datang...” (hal. 5)
-
Sudah beberapa minggu à “Sudah beberapa minggu Ayah
terserang batuk.” (hal.31)
-
Seminggu ini à “Seminggu ini aku rasanya ingin
terus mengulum senyum.” (hal. 32)
-
Empat tahun lalu à “Empat tahun lalu aku merantau ke
Pondok Madani.” (hal. 37)
-
Pada suatu pagi à “Pada suatu pagi, Bandung begitu
gelap seperti sudah malam.” (hal. 81)
-
Hampir setahun à “Hampir setahun aku di Bandung.”
(hal. 83)
-
Seminggu berlalu à “Seminggu berlalu”. (hal. 209)
-
Hari Minggu pagi à “Hari Minggu pagi ini, Mado dan
Ferdinand terus mondar mandir di dapur.” (hal. 313)
-
Lebih dari setengah jam à “Lebih dari setengah jam, Rusdi
melampiaskan kegembiraannya sampai aku iri dengan nasib baiknya ini.” (hal.
362)
-
Beberapa bulan à “Tidak terasa sudah beberaoa bulan
aku tinggal di tanah berbahasa Prancis ini.” (hal. 420)
-
Dalam hitungan bulan à “Dalam hitungan bulan, pelan-pelan,
kami anak-anak Indonesia menjelma menjadi selebriti lokal di Saint-Raymond.”
(hal. 433)
Latar
suasana :
-
Menegangkan :
“Sepatu perahu Jumbo beringsut maju
dan nyaris menginjak sepatu Wira. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya komando,
aku melihat Wira berkelebat cepat. Dia bangkit dari jongkok, menyergap dan
menelikung tangan Jumbo. Agam yang jongkok di kiriku, tak disangka-sangka juga
bergerak.”
“Semakin dekat waktu pengumuman
semakin kacau mimpiku dan semakin tidak enak makanku.”
-
Menyedihkan :
“Lalu beberapa isakan pecah
pelan-pelan. Terbit dari arah Amak dan Adik-adikku. Pikiran-pikiran aneh muncul
silih berganti. Safya di bungsu yang sangat lengket dengan Ayah terus memegang
lengan Ayah.”
-
Mengharukan :
“Rasanya setiap helai bulu di badanku
berdiri tegak, seakan ingin ikut menghormat bendera.”
“Aku hanya bisa mengangguk-angguk
sambil mengeratkan peganganku di tangan Amak yang kurus dan mulai keriput. Aku
bungkukan badan mencium tangan beliau.”
-
Menyenangkan :
“Aku kini
sudah jadi pemuda dewasa, lengkap dengan semua syarat yang disampaikan Raisa.
Saatnya aku akan sampaikan surat penting..”
Sudut
pandang : orang
pertama pelaku utama
è “..Aku duduk
di bagian batu yang landai sambil menjuntaikan kaki.”
Gaya Bahasa : Resmi
Alur : Campuran
Alif,
lulusan Pondok Madani yang bercita-cita ingin masuk universitas negeri. Ia
berjuang sangat keras sampai harus mengulang pelajaran SMA. Akhirnya, ia
berhasil masuk UNPAD lewat UMPTN. Banyak rintangan yang ia lalui dalam menempuh
hidupnya, apalagi setelah kematian Ayahnya yang membuat Alif hampir putus asa.
Tapi buku diarynya semasa di pondok
mebuatnya bangkit kembali. Ingatannya kembali ke masa di mana kyai Rais, sosok
tauladan Pondok Madani, memberi nasihat dan petuah. Beliau selalu memberi jurus
ampuh seperti jurus dua golok dan mantra sakti “man shabara zhafira”. Sejak mengingat mantra itu, Alif selalu dapat
menyelesaikan masalahnya yang terus datang. Sampai akhirnya, semua mimpi Alif
tercapai. Ia berhasil menginjak tanah Aman, ke Amerika mewakili pelajar
Indonesia, menjadi relawan di stasiun TV di Kanada.
Amanat : Kejarlah mimpi dengan kerja keras
yang maksimal, berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Tetap pada prinsip serta tidak mudah menyerah adalah kunci
menuju keberhasilan hidup.
II. UNSUR
EKSTRINSIK
1.
Nilai Religius :
-
Manusia berencana, tetapi Tuhanlah yang
menentukan. Hidup adalah soal penyerahan diri. Apabila kita telah
berusaha dengan segenap daya dan upaya, maka berserah dirilah dengan
tetap mengharap ridha Allah.
Bukti à “Telah pula aku sempurnakan kerja
keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan kepada putusan Tuhan. Aku
coba ikhlaskan semuanya. “
“Kalau aku sudah bingung dan terlalu capek menghadapi segala
tekanan hidup, aku praktikkan nasihat Kiai Rais, yaitu siapa saja yang
mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan ‘mencukupkan’ semua kebutuhan
kita.”
-
Kita harus sabar dalam menjalani hidup.
Bukti à “Perjuangan
tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk
mendapat tujuan yang diimpikan. Kini, terang di mataku, inilah masa paling
tepat buatku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku.”
2.
Nilai Moral :
-
Sebagai sesama makhluk ciptaan
Allah, kita tidak boleh merendahkan dan meremehkan kemampuan orang lain. Setiap
manusia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan.
Bukti à “Randai hanya melirikku sambil
tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya
selalu kurang ajar.”
“Hmm, kuliah
dimana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan
tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”
“Kalau gitu, jauh
panggang dari apilah. Aden saja
dua kali mencoba baru tembus. Padahal NEM aden
tinggi”
-
Dalam setiap kesempatan dan
kondisi tertentu, tetaplah menjadi diri sendiri dan berlaku baik dalam
segala hal, termasuk bersikap jujur.
Bukti
à “Joki? Aku
menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunanya ajaran Amak dan Pondok Madani tentang
kejujuran dan keikhlasan?”
-
Kita harus berbakti kepada orang
tua.
Bukti à “Aku mengambil piring bubur dari tangan Amak. Sesendok demi
sesendok aku suapi ayah. Sesekali aku bersihkan sisi bibirnya dengan
saputangan.”
“Aku akan
mendoakan Ayah dari sini. Aku akan mencoba menjadi anak yang saleh yang terus
mendoakanmu, supaya menjadi amalmu yang tidak akan putus. Aku akan
mengingat selalu nasihat terakhir Ayah.”
“Apa gunanya masa
muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi orang
tua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku susut. Aku ikhlas
mengorbankan masa muda yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku.”
3.
Nilai Sosial
-
Sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong-menolong dalam setiap
keadaan.
Bukti :
“Untunglah
Zulman, temanku yang resik menjaga catatannya, dan Elva, yang punya
semua buku SMA , bersedia meminjamiku.”
“Kalau tidak ada
penjual bakso yang berbaik hati menunjukkan jalan, aku sudah pasti
tersesat di gang yang berliku-liku ini.”
“Lif, kita kan
kawan, tinggal saja dulu disini sampai ketemu kos yang pas.”
“Kami
berganti-ganti menjaga Rusdi di rumah sakit. Tapi hanya satu orang setiap kali
yang boleh berjaga dan sisanya menganggur. Melihat kami akan terlunta-lunta 3
hari di Amman, staf kedutaan, Tyson, dan Kurdi bahu-membahu membantu kami
dengan menyusun jadwal jalan-jalan bagi kami ke sekitar Yordania.
-
Mensedekahkan rezeki yang kita
miliki kepada orang yang berhak.
Bukti à “Sore itu,
aku datangi sebuah panti asuhan di Jalan Nilem. Aku kais-kais lembar
terakhir isi dompetku dan aku serahkan ke bapak pengurus panti
itu.”
-
Menjaga kepercayaan adalah hal yang
penting dalam persahabatan.
Bukti à “Aku merasa
ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya
masalah kepercayaan ini rusak hanya gara-gara pinjam-meminjam.”
4.
Nilai Budaya
-
Nilai ini mengandung kebiasaan
yang pernah atau sering dilakukan tokoh bersama tokoh yang lain.
Bukti à “Sejak
kecil, kami konco palangkin. Kawan
sangat akrab. Pada bulan puasa, kami bahu-membahu menebang betung untuk
membikin meriam bambu. Tapi malamnya kami saling berlomba membuat meriam
yang meletus paling keras.”
“Sejak kecil aku
sering diajak Ayah menonton pertandingan sepak bola, mulai dari kelas kampung
sampai kabupaten. Selain berburu durian, menonton sepak bola adalah waktu
khusus aku dengan Ayah. Hanya kami berdua saja.”
5.
Nilai Pendidikan
-
Dalam hidup ini, manusia harus
memiliki mimpi dan kemauan yang keras untuk meraih mimpinya. Niat adalah awal
yang baik dalam memulai mimpi.
Bukti à “Pagi
itu, dengan mengepalkan tinjuku, aku bulatkan tekad, aku
bulatkan doa: aku akan lulus ujian persamaan SMA dan berperang
menaklukkan UMPTN. Aku ingin membuktikan kalau niat kuat telah dihunus, halangan
apa pun akan aku tebas.”
“Bila aku
bosan belajar, aku bisikkan ke diri sendiri nasihat Imam Syafi’i,
“berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
“Awalnya aku
kesal, tapi lama-lama aku berpikir kenapa aku tidak menggunakan penolakan
sebagai pecut untuk malah bermimpi lebih besar: berburu beasiswa ke luar
negeri.”
-
Seberat apapun ujian yang kita
dapatkan, maka janganlah bersikap pesimis dan rendah diri. Tetap optimis, tetap
berjuang dan tetap semangat.
Bukti à “Semakin
banyak yang melihat aku dengan sebelah mata, semakin menggelegak semangatku
untuk membuktikan bahwa kita tidak boleh meremehkan orang lain, bahkan
tidak boleh meremehkan impian kita sendiri, setinggi apa pun.”
“Dengan segenap
jiwa, aku tegaskan bahwa aku tidak mau menjadi pecundang, orang yang
kalah sebelum berjuang. Setiap pikiran sumbang yang mencoba tumbuh
di kepalaku, aku serang balik.”
-
Dalam menjalani hidup, kita tidak
boleh bermalas-malasan.
Bukti à “Coba kau lihat. Berapa pun mereka
bekerja keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga
anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan kau, boleh tidak
punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan membantu
orang seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, kau
punya. Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!”
“Dulu waktu aku
baru merantau ke Bandung, aku tidak punya apa-apa. Hanya
modal nekat. Awalnya aku gampang mengasihani diriku sendiri, lalu
malas-malasan dan menyalahkan nasib. Tak sengaja aku lewat di dekat tempat ini.
Aku melihat pedihnya hidup mereka di kampung ini. Sampai disini aku baru tahu
bahwa aku jauh lebih beruntung. Sungguh tidak pantas aku bermalas-malasan.”
-
Kesuksesan dan keberhasilan akan
dapat kita raih dengan kesungguhan dan keseriusan belajar.
Bukti à
“Usaha yang sungguh-sungguh dan sabar akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa
saja. Kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal.
Kombinasi sungguh-sungguh dan sabar adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda wa jada dan man shabara zhafira adalah kesuksesan.”
6.
Nilai Estetika
-
Nilai yang berkaitan dengan unsur
cita dan keindahan yang nampak dalam kehidupan tokoh sehari-hari.
Bukti à
Langit bersih terang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau
yang biru pekat, dan angin danau yang lembut mengelus ubun-ubun.
Kampusku, Jurusan
Hubungan Internasional terletak di pinggang perbukitan Dago, menempel
dengan Dago Tea Huiss. Bangunannya
tua, bergaya art deco yang
lurus-lurus dinanungi rimbunan pohon-pohon tanjung yang besar. Jalan
aspal mendaki ke kampus ini diseraki daun besar-besar yang gugur. Burung sibuk
bercericit di sana-sini.
Begitu sampai di depan terminal kedatangan yang teduh, aku julurkan tanganku
untuk menyentuh daun maple yang selama ini hanya aku lihat di gambar.
Daunnya agak lonjong dengan gerigi besar-besar di sekelilingnya, permukaannya
terasa kesat dan bertulang lunak. Ada yang hijau segar, ada yang kuning, dan
ada yang mulai memerah terang, bahkan ada daun yang memuat kombinasi ketiga
warna itu. Indah sekali.
Latar
Belakang:
Ranah 3 Warna adalah buku
ke-2 dari trilogi Negero 5 Menara. Ditulis
oleh Ahmad Fuadi, mantan wartawan TEMPO dan VOA, menerima 8 beasiswa luar
negero dan penyuka fotografi. Pernah tinggal di Kanada, Singapura, Amerika
Serikat, dan Inggris. Alumni Pondok Modern Gontor, HI Unpad, George Washington
University dan Royal Holloway, University of London ini meniatkan sebagian
royalti trilogi ini untuk membangun Komunitas Menara, sebuah yayasan sosial
untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu, yang berbasiskan sukarelawan.
7 comments:
thanks bgt buat sinopsisnya :) berguna bgt..
That's cool Buat Ngerjain Tugas Thanks ya!!
Terima kasih, aku pakai untuk tugas ya! hehe
MAKASIH YA dah posting Novel ranah 3 warna berguna sekali - Terimakasih!!!
Terima kasih yah gan resensi novel nya bagus banget : )
Terima kasih yah gan resensi novel nya bagus banget : )
Makasih kakak, sangat membantu
Post a Comment