Tuesday, January 29, 2013

Analisis Novel Ranah 3 Warna (A.Fuadi) Lengkap



I.                   SINOPSIS
a.      Judul buku    : Ranah 3 Warna
b.      Pengarang      : Ahmad Fuadi
c.       Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
d.      Tebal buku    : 473 halaman
e.       Tahun terbit  : Tahun 2011

Alif dan Randai adalah kawan semasa kecil. Mereka sangatlah dekat satu sama lain. Namun, di lain sisi mereka juga saling bersaing. Menjadi mahasiswa ITB adalah impian Alif sejak dulu. Kini ia telah menyelesaikan pendidikan agamanya di Pondok Madani. Namun, ia tidak memiliki ijazah SMA. Banyak teman di kampungnya yang meragukan  kemampuannya untuk bisa tembus UMPTN, termasuk Randai. Namun Alif tidak berkecil hati, ia tetap pada mimpinya.
 Akhirnya, ia halau  banyak remehan, ia tutup telinga dengan semua perkataan yang melukai hatinya untuk tetap meraih mimpi. Ia bulatkan tekad dengan  belajar keras setiap hari, dengan bantuan teman-teman yang bersimpati dengannya. Akhirnya, ia berhasil lulus ujian persamaan SMA meskipun dengan nilai yang pas-pasan. Namun ia bersyukur dan berjanji akan belajar lebih keras lagi dalam menempuh UMPTN dengan mantra sakti yang ia peroleh selama belajar di Pondok Madani; man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Dalam persiapan menuju UMPTN, ia belajar segenap daya dan  upaya. Tak lupa ia memohon doa dan restu orang tuanya agar dapat lulus UMPTN
Akhirnya, ujian itu pun tiba. Alif telah memaksimalkan  usahanya untuk UMPTN ini.. Beberapa hari setelah itu, ia mengajak ayahnya untuk melihat hasil UMPTN yang dimuat di koran Haluan. Pagi-pagi benar  ia menunggu bus bersama  ayahnya. Akhirnya setelah  bus datang, ia cepat-cepat membuka halaman yang memuat pengumuman UMPTN. Dalam harap dan doa yang tiada putus, ia mencari nama dan  nomor ujiannya. Ia bersyukur sekali ketika mengetahui dirinya lulus UMPTN dan berhasil  masuk menjadi mahasiswa HI UNPAD. Ia bahkan  mengabari teman-temannya para shahibul Menara yang dekat dengannya selama di Pondok Madani dulu. Ia berbagi kabar bahagia sekaligus berbagi semangat hidup. 
            Tiba waktunya ia harus ke Bandung, memulai kuliah. Sejak  saat itu, ia tinggal bersama Randai dalam satu  kamar kos. Ia berjanji sampai mendapatkan kos yang baru, baru ia akan tinggal di tempat yang lain. Alif memasuki masa yang baru, menjadi seorang mahasiswa. Alif harus melewati serangkaian ospek untuk bisa lebih mengenali kampus dan berkenalan dengan  teman-temannya yang baru. Ada Wira, Agam, dan Memet. Pada masa-masa perkenalan kampus itulah berminat untuk memasuki dunia tulis-menulis. Ia mengenal Bang Togar, seorang senior yang berbakat dalam dunia jurnalisme. Ia berusaha untuk berguru kepadanya, meskipun sebenarnya Bang Togar adalah seorang yang sangat keras. Ia harus bersabar ketika hasil menulisnya harus dicoret besar-besar dengan spidol merah dan harus bolak-balik ke rumah kos Bang Togar ketika ada deadline  yang harus ia serahkan  langsung. Pernah suatu  ketika ia merasa jenuh dan tak kuat dengan tuntutan Bang Togar yang keras, namun ia harus menguatkan hatinya dan tetap bersemangat karena ia menganggap bahwa itu merupakan bagian dari belajar. Ia juga berkenalan dengan Raisa, cewek yang dikenalinya sehabis turun dari angkot waktu itu.  Entah mengapa ia merasa ada yang lain dengan dirinya ketika berpapasan dengan gadis yang memesona itu.
Alif telah  melewati  semester satu. Ia senang ketika mendapatkan hasil belajar yang baik dan tulisannya di muat di majalah dinding kampus. Ketika itu, Ayah dan Amaknya yang ada di kampung ingin mengunjunginya ke Bandung. Ia merasa senang sekali. Telah ia uasahakan untuk tempat tinggal orang tuanya di Bandung dengan merayu Randai untuk bersedia meminjamkan kasur. Namun saat itu, ada telegram dari Amak yang mengabarkan bahwa Ayah  sedang  sakit. Ia menyuruh Alif untuk segera pulang. Dengan seketika, ia bergegas menuju Sulawesi dengan menaiki bus. Sesampainya di rumah, Alif segera menemui ayahnya yang ternyata sedang terbaring lemas di bangsal ekonomi rumah sakit. Ayahnya yang melihatnya senang, karena anak bujangnya itu pulang. Namun Alif tak sampai hati melihat ayahnya itu. Ayahnya kini semakin kurus, cincin di jarinya pun longgar. Ayah merasa bangga kepada Alif. Pun suatu ketika, ayah memintanya untuk berfoto bersama dalam ruangan  rumah sakit itu, sekeluarga berlima. Hari demi  hari Alif telaten dan bersedia mengurus ayahnya selama di rumah sakit. Hingga kesehatan ayahnya benar-benar pulih dan akhirnya dipersilakan pulang ke rumah oleh dokter.             
Alif senang mendengar pernyataan dokter yang memperbolehkan ayahnya kembali pulang ke rumah. Kesehatan ayahnya memang berangsur-angsur pulih. Ia pun ingin segera kembali ke Bandung. Namun, hari itu pula ia harus menyaksikan ayahnya yang  batuk-batuk, kedinginan, dan sungguh di luar dugaan, hari itu sang ayah harus menghadap sang Khalik, meninggalkan Alif, Amak, beserta adik-adiknya untuk selamanya. Betapa sedih hati Alif, ia masih tak percaya jika sang ayah benar-benar telah tiada. Namun, ia harus menerima kenyataan dan ketentuan dari sang Khalik, tiada yang sempurna di dunia ini. Akhirnya ia harus berlapang dada dan benar-benar berjanji untuk melakukan apa yang diperintahkan ayah: tetap lanjut kuliah dan menjaga Amak dan adik-adiknya.
Selama beberapa hari berkabung itu, Alif harus benar-benar ikhlas merelakan kepergian sang ayah. Ia harus kembali ke Bandung. Dengan meminta izin kepada Amak yang disayanginya, ia harus segera kembali ke Bandung dan tetap melanjutkan kuliahnya, meskipun  ia tak tahu harus bagaimana hidup di rantau dalam posisi sebagai anak yatim.
Setibanya di Bandung, ia disambut hangat oleh teman-temannya, termasuk Randai. Mereka mengucapkan rasa belasungkawa atas meninggalnya ayah Alif. Alif kini harus melewati hari-hari normal dalam berkuliah. Namun ia sadar, amaknya di kampung sana bekerja keras untuk dapat membiayai Alif. Ia tak sampai hati dan  merasa terlalu memberatkan Amaknya. Ia tak tega. Dan sejak saat itu, ia mulai merambah usaha-usaha. Ia bahkan menjual produk-produk yang digemari ibu-ibu. Ia berjualan songket, kain tenun, mukena, bahkan aksesoris lainnya. Ia menekan  segenap ego dan gengsi. Sejak saat itu ia berusaha bagaimana caranya untuk bisa membiayai diri sendiri dan juga Amaknya. Nilai-nilai kuliah Alif sempat turun, bahkan beberapa ada nilai yang C dan D. Ia sangatlah fokus kepada produk yang dijualnya. Hingga akhirnya ia sampai jatuh sakit. Ia terkena tifus selama tiga minggu. Ia semakin tak berdaya ketika ia dirampok beberapa orang tak dikenalnya.             
Saat dalam keadaan yang hampir putus asa, Alif teringat pada mantra sakti yang ia dapatkan selama belajar di Pondok Madani dulu, man shabara zhafira: siapa yang bersabar akan beruntung. Sejak saat itu, ia menyerahkan segenap hidupnya pada Allah, dengan kesabaran dan keikhlasan hatinya. Mengingat mantra sakti itu, Alif berusaha bangkit. Ia kembali menemui bang Togar untuk belajar menulis seperti dulu. Walaupun ditempa habis-habisan Alif harus bersabar ketika tulisannya dicoret, dan akhirnya beberapa tulisannya pun di muat di surat kabar. Ia senang sekaligus bangga karena saat itu ia mulai dikenal orang. Alif terus memulai langkah hidup baru. Ia kini semakin focus pada kegiatan tulis-menulisnya. Ia kini bahkan mampu mengirimi uang kepada Amak di kampung.
 Suatu ketika, Alif berselisih paham dengan sahabat karibnya, Randai. Gara-gara meminjam komputer itu, hubungan persahabatan mereka nampak renggang. Akhirnya, sejak saat itu Alif memutuskan untuk mencari kos baru dan ia pun berjanji dalam hati untuk tidak meminjam barang kepada orang lain.            
Alif semakin bersemangat menjalani hidupnya. Impiannya sudah banyak yang terkabul. Kini ia punya mimpi yang besar: mendapat beasiswa ke luar negeri. Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba mengikuti tes pertukaran pelajar ke Amerika, bermodalkan niat dan tekad, Alif pun berhasil lolos dengan berbagai pertimbangan yang diberikan oleh panitia. Kanada! Ya itu tempat yang akan Alif tuju, impiannya untuk menginjakkan kaki di Amerika akhirnya tercapai. Raisa yang merupakan perempuan yang Alif sukai lolos seleksi pertukaran pelajar. Alif menambah banyak teman, dari rombongan pertukaran pelajar tersebut.
Tiba waktunya Alif beserta segenap duta Indonesia pergi ke Kanada untuk melaksanakan misi pertukaran mahasiswa. Ia bertemu dengan teman-teman yang unik, temasuk Rusdi sang kesatria berpantun. Ketika sesampainya di Kanada, ia dibagi oleh sang kakak yang memandu. Alif ditempatkan di Quebec, bersama Franc Pepin. Mereka pun sangat beruntung memiliki keluarga asuh yang baik. Frandinand dan Mado.
Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif pun semakin berambisi untuk bisa mempersembahkan medali emas dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia bisa berprestasi. Ia ingin mengalahkan Rob, pemuda berkebangsaan Kanada yang arogan itu. Akhirnya, dengan kerja keras dan memantapkan segenap daya dan upayanya berdasarkan man jadda wa jadda  ia berhasil bersama Francois Pepin merebut medali emas. Ia pun berhasil menarik perhatian Raisa. Semakin hari, nampaknya ia semakin jatuh hati kepada gadis itu. Pernah ia datang ke kantor Raisa, namun lagi-lagi ia tak berhasil menyampaikan maksudnya itu.
Bersama duta Indonesia yang lain di Kanada, Alif berhasil membawa nama Indonesia. Mereka sukses mempertunjukkan  kebolehan  mereka memainkan tarian adat dan  memasak makanan  asli Indonesia yang memikat. Selain itu, berdesir dalam darah mereka nama Indonesia, negeri tercinta yang kini mampu sejajar dengan bangsa yang lain. Semakin menggelegak semangat mereka memperjuangkan tanah sendiri di rantau.           
Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Alif lulus, tapi di hari kelulusan itu, saat dia ingin menyerahkan surat tersebut ke Raisa, hal yang tidak disangka terjadi, Raisa telah bertunangan dengan Randai, kawan karibnya! Dengan perasaan yang campur aduk dia berusaha mencoba untuk menerimanya. Setelah 10 tahun, Alif menepati janjinya ke Franco Peppin untuk mengunjungi dia kembali di Kanada dengan seorang istrinya. Di puncak bukit kota itu dia menatap terbitnya matahari dengan istrinya, dia bernostalgia dengan perjuangannya yang keras dia bisa menjadi besar seperti ini, berkat 2 mantra dari Pondok Madani “man jadda wa jadda” dan “man shabara zhafira.”. Alif berhasil melalui ranah 3 warna dalam  hidunya. Bandung, Amman, dan Saint Raymond.

II.                UNSUR INTRINSIK
1.      Tema Umum                          : Cita-cita
2.      Tema Khusus                                    : Perjuangan dalam meraih cita-cita
3.      Tokoh dan penokohan         :
-          Alif :
Pekerja keras à “Pintu kamar pun aku kunci dan sudah berhari-hari aku mengurung diri, hanya ditemani bukut-bukit buku. Bahkan kalau adiku diam-diam mengintip dari balik pintu, aku halau mereka...” (Hal. 296)
Tidak mudah putus asa, ikhlas à “Akhirnya aku memilih untuk ikhlas saja, walau diperlakukan dengan keras. Hari ini aku sibuk sekali karena harus memperbaiki naskah, mengetik ulang, mengantar dan dicoret Bang Togar. Sampai berulang-ulang.”
Selalu bersyukur à “Aku mendapatkan teman yang baik dan pengalaman yang sangat aku impikan sejak dulu. Sudah seharusnya aku selalu bersyukur..” (hal.425)
Sabar dalam menghadapi banyak cobaan à “Surat ini sesungguuhnya mewakili sebuah pelabuhan keberuntungan yang bahagia setelah berkayuh melalui laut penuh badai dan gelombang ganas hanya bermodalkan baju sabar. Man shabara zhafira.” (hal. 348)
Bertawakal à Aku mencoba menghibur diriku. Toh aku telah melakukan usaha diatas rata-rata. Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan pada Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya. (hal. 28)
Patuh kepada orangtua à “Nak, sudah wa’ang  patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu...” kata Amak. (hal.41)
-          Randai :
Merendahkan orang lain à “Hmm, kuliah di mana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum?  Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”.(hal.4)
Setia kawan, baik hati, mau menolong à “Lif, kita kan kawan, tinggal saja dulu di sini sampai ketemu kos yang pas.”
“Atau begini saja. Bagaimana kalau gabung saja dengan aku di sini, kita bisa patungan bayar berdua kamar ini.” (hal.62)
Pemarah à “Mana mungkin wa’ang bisa bantu. Ini kan pelajaran Teknik, pasti nggak ngerti!” suaranya meninggi “Tadi diapakan ini? Bertahun-tahun komputer ini tidak pernah rusak!” Tangannya sekarang membuka kap CPU dengan kasar, mencabut beberapa kabel sekali renggut dengan keras.” (hal 168)

-          Raisa :
Ramah, penuh senyum, adil à “Dalam pandanganku, Raisa dengan adil membagi perhatia, senyum, dan tawa yang sama kepada cerita aku dan Randai”
Percaya diri à “Acara ditutup dengan Raisa tampil di depan. Seragam jas biru tua semakin menambah aura percaya dirinya yang besar.” (hal. 228)
-          Amak :
Baik hati, bijaksana, penyayang à “Nak, sudah wa’ang  patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu. Niatkanlah untuk ibadah, insya Allah selalu dimudahkanNya. Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa untuk wa’ang,” kata Amak. (hal.41)
-          Ayah :
Menepati janjinya à “Alif, ini semua formulir yang harus diisi. Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas wa’ang untuk belajar keras. (hal.6)
Penuh perhatian à “Ayah dan Amak akan doakan dengan sepenuh hati,” kata Ayah menatapku. Tangannya mengusap kepalaku sekilas. (hal.25)
Keras kepala à “Sebetulnya, Pak Mantri Pian sudah menganjurkan Ayah untuk banyak beristirahat, tapi dia tetap juga keras kepala untuk batanggang menonton Piala Eropa bersamaku sampai subuh” (hal.31)
Bijaksana à “Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung jangan lupa membawa nama baik dan kelakuan. Elok-elok di negeri orang. Jangan sampai berbuat salah.” (hal.41)
-          Kiai Rais :
Teladan, bijaksana à “...Cobalah bayangkan. Kalian yang dikaruniai bakat hebat dan otak cerdas adalah bak golok tajam yang berkilat-kilat. Kecerdasan kalian bisa menyelesaikan beberapa masalah. Tapi kalau kalian tidak serius, tidak sepenuh tenaga dan niat, maka kaliat tidak akan maksimal, misi tidak akan sampai, usaha tidak akan berhasil, kayu tidak akan patah...”
-          Bang Togar :
Berbakat menulis à “Dia bercerita, Togar masih mahasiswa tapi telah menjadi penulis tetap di berbagai media, bahkan menjadi kontributor reguler di kompas.”(hal. 65)
Keras, agak sombong à “Tapi dia sangat keras dan agak sombong. Banyak yang mau belajar menulis sama dia, tapi sering ditolak atau orang itu gagal di jalan.” Kata Mitra berbisik (hal. 66)
-          Rusdi :
Percaya diri à “...Tapi kitalah, ya kita, yang sebetulnya berkualitas laki-laki terbaik. Kitalah manusia unggul,”
“ Kita seperti sedang menyamar. Sayang sekali mereka, para gadis, itu tidak tahu. Rugilah mereka. It’s their loss, not ours,” (hal.424)
Mudah bergaul à “Tidak jauh dariku, Rusdi juga sedang berkenalan dengan beberapa orang lain. Tidak butuh waktu lama untuk membuat anak-anak Kanada ini mengrubung Rusdi.”
-          Francolin Pepin
Lucu, murah senyum, baik hati à “Aku kembali tertawa melihat mimiknya, mulut tersenyum lebar, alis terkembang, mata terbelalak. Mungkin aku tidak dapat mitra bahasa Inggris, tapi setidaknya aku mendapat seorang kawan yang baik dan lucu.” (hal. 356)
-          Mado :
Baik hati, berhati lembut, penuh perhatian à “Mado, perempuan berambut pirang yang lembut hati ini selalu telaten membakar roti isi omelet yang gurih buat sarapanku. Sering dia berlari-lari tiba-tiba menyusulku yang sudah naik ke sadel sepeda, hanya untuk memasukkan lagi sebungkus biskuit.” ( hal.428)
-          Ferdinand :
Banyak berbuat daripada bicara, perhatian, baik hati à “Sedangkan Ferdinand banyak berbuat daripada bicara. Aku pernah bilang harus mengirim artikel setiap minggu ke koran di Bandung. Diam-diam dia menghubungi anak sulungnya, Jeaninne yang sudah bekerja di Quebec City, menanyakan apakan punya komputer yang tidak dipakai.” (hal.429)
-          Kak Marwan :
Bijaksana à “Tugas kalian adalah sebagai duta muda bangsa di mata orang Kanada. Jadilah cerminan orang Indonesia yang terbaik. Gunakan setiap kesempatan untuk menjadi yang terbaik,” hal.264)
-          Wira :
Pemarah, pemberani à “Di kananku, Wira si kera ngalam yang berparas putih ini telah menjelma seperti udang rebus. Merah padam. Matanya tak lepas-lepas menantang telunjuk Jumbo yang menghardiknya.” (hal. 55)
-          Agam :
Mudah bergaul, humoris, baik hati, usil à “Agam adalah perekat kami. Dia selalu punya humor heboh untuk diceritakan. Agam suka mengikat sepatu orang lain atau melempat bola kertas untuk mengusili teman yang mengantuk.” (hal.59)
-          Memet :
Cinta damai, suka membantu à “Memet juga berbadan subur, tapi kebalikan dari Agam. Dia pecinta damai dan selalu melarang Agam berbuat usil. Kegiatan utama memet adalah sibuk membantu siapa aja. Kalau kami kehausan, dia akan dengan senang hati mengangsurkan botol minum.” (hal. 60)
Latar tempat              :
-          Danau maninjau à “Batu sebesar gajah ini menjorok ke Danau Maninjau, dianungi sebatang pohon kelapa yang melengkung seperti busur.” (hal. 1)
-          Kamar Alif à Kamarku kini seperti toko barang bekas (hal. 9)
-          Kampus à “Kampusku, jurusan Hubungan Internasional, terletak di perbukitan Dago, menempel dengan Dago Tea Huiss.” (hal. 64)
-          Depan kos Bang Togar à “Dengan terengah-engah aku sampai juga di depan kos Bang Togar.” (hal. 73)
-          Bandung à “Hampir setahun aku di Bandung.” (hal. 83)
-          Rumah kos Randai à “Akhirnya aku sampai di rumah kos Randai, sebuah rumah yang terjebak diantara rumah-rumah penduduk di salah satu ujung gang.” (hal.44)
-          Maninjau à “Dengan duit pinjaman dari Randai, malam itu juga aku pulang ke Maninjau.” (hal. 86)
-          Cibubur à”Begitu menginjakkan si Hitam di gerbang kamp persiapan Cibubur.” (hal. 218)
-          Kota Amman à “Begitu satu bus besar kami membelah Kota Amman, Semua mata kami kini terbuka lebar.” (hal. 238)
-          Montreal à “Setelah beberapa hari di Montreal, aku mulai berani untuk berjalan-jalan sendiri.” (hal. 261)
-          Kanada à”Ternyata berburu di Kanada merupakan sebuah olahraga dan budaya.”

Latar waktu               :
-          Setahun Lalu à “Setahun lalu, beliaulah yang datang...” (hal. 5)
-          Sudah beberapa minggu à “Sudah beberapa minggu Ayah terserang batuk.” (hal.31)
-          Seminggu ini à “Seminggu ini aku rasanya ingin terus mengulum senyum.” (hal. 32)
-          Empat tahun lalu à “Empat tahun lalu aku merantau ke Pondok Madani.” (hal. 37)
-          Pada suatu pagi à “Pada suatu pagi, Bandung begitu gelap seperti sudah malam.” (hal. 81)
-          Hampir setahun à “Hampir setahun aku di Bandung.” (hal. 83)
-          Seminggu berlalu à “Seminggu berlalu”. (hal. 209)
-          Hari Minggu pagi à “Hari Minggu pagi ini, Mado dan Ferdinand terus mondar mandir di dapur.” (hal. 313)
-          Lebih dari setengah jam à “Lebih dari setengah jam, Rusdi melampiaskan kegembiraannya sampai aku iri dengan nasib baiknya ini.” (hal. 362)
-          Beberapa bulan à “Tidak terasa sudah beberaoa bulan aku tinggal di tanah berbahasa Prancis ini.” (hal. 420)
-          Dalam hitungan bulan à “Dalam hitungan bulan, pelan-pelan, kami anak-anak Indonesia menjelma menjadi selebriti lokal di Saint-Raymond.” (hal. 433)
Latar suasana            :
-          Menegangkan :
“Sepatu perahu Jumbo beringsut maju dan nyaris menginjak sepatu Wira. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya komando, aku melihat Wira berkelebat cepat. Dia bangkit dari jongkok, menyergap dan menelikung tangan Jumbo. Agam yang jongkok di kiriku, tak disangka-sangka juga bergerak.”
“Semakin dekat waktu pengumuman semakin kacau mimpiku dan semakin tidak enak makanku.”
-          Menyedihkan :
“Lalu beberapa isakan pecah pelan-pelan. Terbit dari arah Amak dan Adik-adikku. Pikiran-pikiran aneh muncul silih berganti. Safya di bungsu yang sangat lengket dengan Ayah terus memegang lengan Ayah.”
-          Mengharukan :
“Rasanya setiap helai bulu di badanku berdiri tegak, seakan ingin ikut menghormat bendera.”
“Aku hanya bisa mengangguk-angguk sambil mengeratkan peganganku di tangan Amak yang kurus dan mulai keriput. Aku bungkukan badan mencium tangan beliau.”
-          Menyenangkan :
“Aku kini sudah jadi pemuda dewasa, lengkap dengan semua syarat yang disampaikan Raisa. Saatnya aku akan sampaikan surat penting..”

Sudut pandang          : orang pertama pelaku utama
è “..Aku duduk di bagian batu yang landai sambil menjuntaikan kaki.”
Gaya Bahasa             : Resmi
Alur    : Campuran
Alif, lulusan Pondok Madani yang bercita-cita ingin masuk universitas negeri. Ia berjuang sangat keras sampai harus mengulang pelajaran SMA. Akhirnya, ia berhasil masuk UNPAD lewat UMPTN. Banyak rintangan yang ia lalui dalam menempuh hidupnya, apalagi setelah kematian Ayahnya yang membuat Alif hampir putus asa. Tapi buku diarynya semasa di pondok mebuatnya bangkit kembali. Ingatannya kembali ke masa di mana kyai Rais, sosok tauladan Pondok Madani, memberi nasihat dan petuah. Beliau selalu memberi jurus ampuh seperti jurus dua golok dan mantra sakti “man shabara zhafira”. Sejak mengingat mantra itu, Alif selalu dapat menyelesaikan masalahnya yang terus datang. Sampai akhirnya, semua mimpi Alif tercapai. Ia berhasil menginjak tanah Aman, ke Amerika mewakili pelajar Indonesia, menjadi relawan di stasiun TV di Kanada.
                     Amanat             : Kejarlah mimpi dengan kerja keras yang maksimal, berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Tetap pada  prinsip serta tidak mudah menyerah  adalah kunci menuju  keberhasilan hidup.

II. UNSUR EKSTRINSIK
1.      Nilai Religius :
-          Manusia berencana, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Hidup adalah soal penyerahan  diri. Apabila kita telah berusaha dengan  segenap daya dan upaya, maka berserah dirilah dengan tetap mengharap ridha Allah.
Bukti à “Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan  kepada putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya. “
      “Kalau aku sudah bingung dan  terlalu capek  menghadapi segala tekanan  hidup, aku praktikkan nasihat Kiai Rais, yaitu siapa saja yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan ‘mencukupkan’ semua kebutuhan kita.”
-          Kita harus sabar dalam menjalani hidup.
Bukti à “Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk mendapat tujuan yang diimpikan. Kini, terang di mataku, inilah masa paling tepat buatku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku.”
2.      Nilai Moral :
-          Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, kita tidak boleh merendahkan dan meremehkan kemampuan orang lain. Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan.  
Bukti à “Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar.”
      “Hmm, kuliah dimana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan  tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”
      “Kalau gitu, jauh panggang dari apilah. Aden  saja dua kali mencoba baru tembus. Padahal NEM aden tinggi”
-          Dalam setiap kesempatan  dan  kondisi tertentu, tetaplah menjadi diri sendiri dan berlaku baik dalam segala hal, termasuk bersikap jujur.
           Bukti à “Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunanya ajaran Amak dan Pondok Madani tentang kejujuran dan keikhlasan?”
-          Kita harus berbakti kepada orang tua.
Bukti à  Aku mengambil piring bubur dari tangan Amak. Sesendok demi sesendok aku suapi ayah. Sesekali aku bersihkan sisi bibirnya dengan saputangan.”
      “Aku akan mendoakan Ayah dari sini. Aku akan mencoba menjadi anak yang saleh yang terus mendoakanmu, supaya menjadi amalmu yang tidak akan  putus. Aku akan mengingat selalu  nasihat terakhir Ayah.”
      “Apa gunanya masa muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi orang tua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku  susut. Aku ikhlas mengorbankan masa muda yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku.”
     
3.      Nilai Sosial
-          Sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong-menolong dalam  setiap keadaan.
Bukti :
      “Untunglah Zulman, temanku  yang  resik menjaga catatannya, dan Elva, yang punya semua buku SMA , bersedia meminjamiku.”
      “Kalau tidak ada penjual bakso yang berbaik hati menunjukkan  jalan, aku sudah pasti tersesat di gang yang berliku-liku ini.”
      “Lif, kita kan kawan, tinggal saja dulu disini sampai ketemu kos yang pas.”
      “Kami berganti-ganti menjaga Rusdi di rumah sakit. Tapi hanya satu orang setiap kali yang boleh berjaga dan sisanya menganggur. Melihat kami akan terlunta-lunta 3 hari di Amman, staf kedutaan, Tyson, dan Kurdi bahu-membahu membantu kami dengan menyusun jadwal jalan-jalan bagi kami ke sekitar Yordania.
-          Mensedekahkan rezeki yang kita miliki kepada orang yang berhak.
            Bukti à “Sore itu, aku datangi sebuah  panti asuhan di Jalan Nilem. Aku kais-kais lembar  terakhir  isi dompetku dan aku serahkan ke bapak pengurus panti itu.”
-          Menjaga kepercayaan adalah hal yang penting dalam persahabatan.
            Bukti à “Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak hanya gara-gara pinjam-meminjam.”

4.      Nilai Budaya
-          Nilai ini mengandung  kebiasaan  yang pernah atau sering dilakukan tokoh bersama tokoh yang lain.
Bukti à  “Sejak kecil, kami konco palangkin. Kawan sangat akrab. Pada bulan puasa, kami bahu-membahu menebang betung untuk membikin meriam  bambu. Tapi malamnya kami saling berlomba membuat meriam yang meletus paling keras.”
     “Sejak kecil aku sering diajak Ayah menonton pertandingan sepak bola, mulai dari kelas kampung sampai kabupaten. Selain berburu durian, menonton sepak bola adalah waktu khusus aku dengan Ayah. Hanya kami berdua saja.”

5.      Nilai Pendidikan
-          Dalam hidup ini, manusia harus memiliki mimpi dan kemauan yang keras untuk meraih mimpinya. Niat adalah awal yang baik dalam  memulai  mimpi.
Bukti à  “Pagi itu, dengan  mengepalkan  tinjuku, aku bulatkan  tekad, aku bulatkan  doa: aku akan lulus ujian persamaan SMA dan berperang menaklukkan UMPTN. Aku ingin membuktikan kalau niat kuat telah dihunus, halangan apa pun akan aku tebas.”
      “Bila aku  bosan belajar, aku bisikkan ke diri sendiri nasihat Imam Syafi’i, “berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
      “Awalnya aku kesal, tapi lama-lama aku berpikir kenapa aku tidak menggunakan penolakan sebagai pecut untuk malah bermimpi lebih besar: berburu beasiswa ke luar negeri.”
-          Seberat apapun ujian yang kita dapatkan, maka janganlah bersikap pesimis dan rendah diri. Tetap optimis, tetap berjuang dan tetap semangat.
            Bukti à “Semakin banyak yang melihat aku dengan sebelah mata, semakin menggelegak semangatku  untuk membuktikan bahwa kita tidak boleh meremehkan orang lain, bahkan tidak boleh meremehkan impian kita sendiri, setinggi apa pun.”
      “Dengan segenap jiwa, aku tegaskan bahwa aku tidak mau menjadi pecundang, orang yang  kalah sebelum  berjuang. Setiap pikiran sumbang yang mencoba tumbuh di kepalaku, aku serang balik.”
-          Dalam menjalani hidup, kita tidak boleh bermalas-malasan.
            Bukti à “Coba kau lihat. Berapa pun mereka bekerja keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan kau, boleh tidak punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan  membantu  orang seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, kau punya. Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!”
      “Dulu waktu aku baru  merantau ke Bandung,  aku tidak  punya apa-apa. Hanya modal  nekat. Awalnya aku gampang mengasihani diriku sendiri, lalu malas-malasan dan menyalahkan nasib. Tak sengaja aku lewat di dekat tempat ini. Aku melihat pedihnya hidup mereka di kampung ini. Sampai disini aku baru tahu bahwa aku jauh lebih beruntung. Sungguh tidak pantas aku bermalas-malasan.”
-          Kesuksesan dan keberhasilan akan dapat kita raih dengan kesungguhan dan keseriusan belajar.
            Bukti à   “Usaha yang sungguh-sungguh dan sabar akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Kombinasi sungguh-sungguh dan sabar adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda wa jada dan man shabara zhafira adalah kesuksesan.”

6.      Nilai Estetika
-          Nilai yang berkaitan dengan unsur cita dan keindahan yang nampak dalam kehidupan tokoh sehari-hari.
Bukti à  Langit bersih terang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau  yang biru pekat, dan angin danau  yang lembut mengelus ubun-ubun.
      Kampusku, Jurusan Hubungan Internasional terletak di pinggang perbukitan  Dago, menempel dengan Dago Tea Huiss. Bangunannya tua, bergaya art deco yang lurus-lurus dinanungi rimbunan pohon-pohon  tanjung yang besar. Jalan aspal mendaki ke kampus ini diseraki daun besar-besar yang gugur. Burung sibuk bercericit di sana-sini.
      Begitu sampai di depan terminal kedatangan yang teduh, aku julurkan tanganku untuk menyentuh daun  maple yang selama ini hanya aku lihat di gambar. Daunnya agak lonjong dengan gerigi besar-besar di sekelilingnya, permukaannya terasa kesat dan bertulang lunak. Ada yang hijau segar, ada yang kuning, dan ada yang mulai memerah terang, bahkan ada daun yang memuat kombinasi ketiga warna itu. Indah sekali.

Latar Belakang:
Ranah 3 Warna adalah buku ke-2 dari trilogi Negero 5 Menara. Ditulis oleh Ahmad Fuadi, mantan wartawan TEMPO dan VOA, menerima 8 beasiswa luar negero dan penyuka fotografi. Pernah tinggal di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, dan Inggris. Alumni Pondok Modern Gontor, HI Unpad, George Washington University dan Royal Holloway, University of London ini meniatkan sebagian royalti trilogi ini untuk membangun Komunitas Menara, sebuah yayasan sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu, yang berbasiskan sukarelawan.

7 comments:

Unknown said...

thanks bgt buat sinopsisnya :) berguna bgt..

Unknown said...

That's cool Buat Ngerjain Tugas Thanks ya!!

Anonymous said...

Terima kasih, aku pakai untuk tugas ya! hehe

Unknown said...

MAKASIH YA dah posting Novel ranah 3 warna berguna sekali - Terimakasih!!!

Unknown said...

Terima kasih yah gan resensi novel nya bagus banget : )

Unknown said...

Terima kasih yah gan resensi novel nya bagus banget : )

Unknown said...

Makasih kakak, sangat membantu

tamiadwimartha.blogspot.com

tamiadwimartha.blogspot.com